RELIMA DI TANAH NELAYAN DAN PETANI – MENGGERAKKAN LITERASI, MENGANGKAT MARTABAT BANGSA

RELIMA DI TANAH NELAYAN DAN PETANI – MENGGERAKKAN LITERASI,
MENGANGKAT MARTABAT BANGSA

Oleh Rizkiani Kpksigap.com – Buton Selatan,10 Oktober 2025 – Di Buton Selatan, bentang alamnya memikat, bukit hijau membentang, laut biru memisahkan pulau-pulau kecil, dan desa-desa berdiri sederhana di antara pesisir dan perbukitan. Namun, di balik keindahan itu, masyarakat masih menghadapi keterbatasan dalam mengakses bacaan. Anak-anak tumbuh tanpa buku cerita, remaja tak memiliki ruang berekspresi literasi, dan orang tua kesulitan mendapatkan bahan bacaan yang sesuai kebutuhan.
Di sinilah pentingnya literasi inklusif, memastikan setiap orang, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan untuk belajar, tumbuh, dan bermartabat melalui pengetahuan. Perpustakaan bukan sekadar tempat menyimpan buku, tetapi pusat pemberdayaan masyarakat.
Di ruang ini, anak-anak menyalakan imajinasi, remaja menemukan suara, dan orang tua memperoleh pengetahuan praktis. Kehadiran bantuan buku bacaan bermutu dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengubah wajah perpustakaan desa dan taman baca masyarakat di Buton Selatan. Rak yang dulu kosong kini terisi bacaan segar, dan ruang yang dulu sepi, kini menjadi pusat interaksi sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Perpustakaan tampil sebagai jantung komunitas, tempat warga menguatkan martabat mereka.

Di tengah perubahan itu, saya Rizkiani, hadir sebagai (Relima) Relawan Literasi Masyarakat. Bagi saya, kerelawanan bukan sekadar memberi waktu, melainkan memberi hati.
Menjadi Relima berarti siap menyeberang laut dengan perahu kecil, berjalan jauh menembus bukit dan rimbunnya hutan, dan mendampingi warga dan perpustakaan di ruang-ruang sederhana demi satu tujuan, memastikan cahaya literasi sampai ke semua lapisan masyarakat.
Semangat ini saya rawat sebagai panggilan jiwa, karena saya percaya martabat bangsa tumbuh dari kecintaan warganya terhadap ilmu pengetahuan. Peran saya diwujudkan melalui dukungan nyata terhadap perpustakaan desa dan taman baca masyarakat. Saya membantu pengelola menyusun Program dan rencana kegiatan sederhana dan menarik, melatih teknik peminjaman, hingga membuat sudut baca dengan fasilitas seadanya.
Bersama warga dan pengelola, saya memastikan koleksi buku terawat dan layanan perpustakaan benar-benar digunakan.
Perpustakaan yang dulunya hanya sekadar bangunan kini menjadi ruang hidup, karena Relima dan masyarakat bersama-sama menjaganya.

Literasi inklusif menuntut keberanian untuk menjangkau mereka yang sering tersisih. Saya membawa harapan besar dengan mengendarai perahu nelayan dan sepeda motor menyusuri wilayah Buton Selatan, menggelar kelas membaca di ruang-ruang terbuka dengan pemandangan alam dan lautan, dan menemani anak-anak petani di rumah panggung di perbukitan Batauga, Sampolawa, Lapandewa, Siompu dan Kadatua.
Di pesisir, saya duduk Bersama anak-anak nelayan, memperlihatkan buku keterampilan yang bisa menambah pengetahuan. Semua itu dilakukan agar literasi benar-benar hadir, bukan hanya di pusat desa, tetapi juga di pulau terpencil dan komunitas marjinal. Dari inisiatif tersebut lahir kegiatan sederhana namun berdampak.
Program “15 menit membaca sebelum belajar” saya jalankan di sekolah dasar untuk membiasakan anak-anak membaca sejak dini. Di pesisir, saya memfasilitasi “Kelas Literasi Kreatif” agar remaja bisa menulis cerita dan membuat konten digital. Ibu-ibu rumah tangga dan Lansia saya ajak dan mengedukasi untuk memperkuat ekonomi keluarga serta Mengaji. Setiap kegiatan ini memberi bukti nyata bahwa literasi dapat menyentuh pendidikan, kreativitas, hingga penghidupan.
Keberhasilan ini tidak lahir sendirian, Kolaborasi menjadi kunci utama.
Saya bekerja bersama pengelola perpustakaan desa, guru, tokoh adat, tokoh agama dan mahasiswa KKN serta pemangku kepentingan untuk memperkuat gerakan literasi. Pemuda desa ikut mendistribusikan dan menggerakkan literasi di pulau-pulau kecil, pemerintah desa memberikan dukungan fasilitas, dan komunitas lokal menyumbangkan tenaga, pikiran dan buku-buku bacaan.
Dengan kebersamaan ini, literasi menjadi gerakan kolektif, bukan lagi perjuangan seorang diri.
Perubahan pun nyata terasa. Kunjungan masyarakat ke perpustakaan meningkat dari sebelumnya. Anak-anak yang dulu enggan kini mampu membaca selama 30–45 menit. Remaja lebih percaya diri menulis dan berdiskusi, sementara orang tua menemukan manfaat pengetahuan dan pelajaran agama untuk kehidupan sehari-hari.
Perpustakaan desa yang dulunya sepi kini ramai oleh gelak tawa dan percakapan tentang ide-ide baru. Masyarakat merasakan bahwa pengetahuan benar-benar bisa mengubah kehidupan mereka.
Meski begitu, jalan kerelawanan literasi tidak selalu mulus. Jarak antarwilayah yang jauh, keterbatasan sarana, hingga rendahnya kesadaran awal masyarakat menjadi tantangan yang harus dihadapi. Tetapi saya belajar bahwa ketulusan dan konsistensi mampu membuka pintu hati. Perlahan, masyarakat yang awalnya ragu mulai percaya, bahwa literasi bukan beban, melainkan kebutuhan.
Dari sinilah saya memahami bahwa perubahan besar selalu lahir dari langkah-langkah kecil yang dilakukan dengan penuh kesabaran.

Ke depan, saya berkomitmen untuk terus memperkuat literasi inklusif di Buton Selatan. Saya ingin perpustakaan desa bukan hanya ruang baca, tetapi juga pusat belajar digital, tempat pelatihan keterampilan, dan wadah lahirnya usaha kreatif masyarakat.
Saya bermimpi agar anak-anak di pulau terpencil tidak lagi asing dengan buku, remaja berani menulis cerita mereka sendiri, dan orang tua merasa bangga karena ilmu yang mereka baca bisa mengubah hidup. Saya percaya, setiap buku adalah obor kecil, dan ketika semua obor menyala, bangsa ini akan berdiri tegak dan bermartabat di hadapan dunia.

Laporan : La Ode
Editor Mursyidi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *