Pontianak,kpksigap.com – Kalimantan Barat – 10 Juli 2025 Hutan adat di Kalimantan Barat kian lenyap, meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada ruang hidup leluhur.
Sejak 1995, ekspansi industri dan konversi lahan secara besar-besaran telah menggerus hutan yang selama ini menjadi nadi kehidupan komunitas adat. Kini, yang tersisa hanyalah tanah-tanah kering yang tak lagi ramah, dan janji-janji yang tak pernah benar-benar tiba.
“Hutan adat kami sekarang nol. Kami seperti tak punya ruang hidup lagi. Dulu kami hidup dari hutan, kini kami terjepit aturan,” ungkap Adrianus Adam Tekot, tokoh adat dari Desa Sungai Nau, Kecamatan Kuala Mandor, Kubu Raya. Baginya, kehilangan hutan bukan hanya soal ekonomi, tapi soal hilangnya jati diri dan masa depan generasi penerus.
Ironisnya, peladang tradisional justru kian terpojok oleh kebijakan kehutanan yang keras. Sementara perusahaan besar dengan leluasa membabat hutan demi sawit dan tambang, masyarakat adat malah hidup dalam ancaman kriminalisasi. “Kami mau berladang dilarang, mau kerja jadi buruh pun sulit. Tanah kami dikuasai, tapi kami diminta diam,” kata Adrianus.
Padahal, Mahkamah Konstitusi lewat Putusan No. 35/PUU-X/2012 telah menegaskan bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat, bukan bagian dari hutan negara. Begitu pula Undang-Undang Pokok Agraria mengamanatkan keadilan dalam penguasaan tanah. Tapi di lapangan, suara konstitusi nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk investasi.
Penguasaan lahan yang timpang juga mengakibatkan masyarakat adat tercerabut dari akarnya. Dulu mereka peladang, penjaga hutan, pewaris pengetahuan ekologis. Kini mereka hanya penonton di tanah sendiri, terdesak dan termarginalkan. Akses pendidikan dan pekerjaan pun timpang, memperlebar jurang ketidakadilan yang sudah menganga.
Masyarakat adat kini menuntut lebih dari sekadar pengakuan di atas kertas. Mereka ingin pengembalian hak kelola yang nyata dan akses terhadap lahan adat yang selama ini dikuasai perusahaan. “Kami tidak butuh janji politik yang manis. Kami butuh ruang kelola untuk hidup kembali,” tegas Adrianus.
Desakan ini bukan hanya soal hak, tapi juga soal keberlanjutan. Tanpa keterlibatan masyarakat adat dalam menjaga lingkungan, kerusakan ekologis hanya akan semakin masif. Negara dan korporasi harus menyadari bahwa pembangunan yang menyingkirkan masyarakat adat sama saja dengan meruntuhkan fondasi keadilan sosial dan lingkungan.
“Tanah bagi kami bukan sekadar benda. Ia adalah roh, tubuh, dan sejarah kami. Jika ia hilang, kami pun ikut hilang,” tutup Adrianus, mengingatkan bahwa perjuangan ini bukan hanya milik komunitas adat, tapi milik kita semua yang peduli akan masa depan Bumi.
Sumber: Adrianus Adam Tekot, tokoh adat Desa Sungai Nau, Kecamatan Kuala Mandor, Kabupaten Kubu Raya
Editor : RM