Janji Lantang Fakta Pincang PETI Masih Hidup di Kapuas

Kalbar,kpksigap.com – Di balik keelokan alam Kalimantan Barat, tersimpan luka yang kian menganga di jantung Sungai Kapuas. Desa Nanga Biang, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, kini menjadi saksi bisu maraknya penambangan emas tanpa izin (PETI).

Deru mesin dompeng menggantikan kicau burung, merobek sunyi hutan, dan meracuni aliran air yang dahulu menjadi sumber kehidupan warga. Sungai yang dulu bening, kini berubah menjadi kubangan beracun.

Sejak 13 September lalu, berbagai media lokal gencar menyoroti praktik ilegal ini. Fakta di lapangan tak terbantahkan: aktivitas tambang berjalan terang-terangan. Lanting para penambang berjejer di atas sungai, beroperasi tanpa rasa takut. Ironisnya, aparat penegak hukum (APH) justru memilih bungkam. Tak ada operasi, tak ada penggerebekan, seakan mata mereka sengaja ditutup rapat.

Sikap diam aparat bukan lagi sekadar kelalaian. Publik mulai menilai hal ini sebagai bentuk pembiaran sistematis. Pertanyaan pun menyeruak: apakah ada “tangan-tangan tak terlihat” yang ikut melindungi aktivitas haram tersebut? Jika hukum bisa lumpuh di tepian Kapuas, bagaimana dengan wilayah lain yang jauh dari sorotan media.

Kerusakan akibat PETI bukan persoalan sepele. Merkuri dan limbah tambang mencemari air sungai, merembes ke sawah, meracuni ikan, hingga akhirnya masuk ke meja makan warga. Dampaknya bukan hanya hari ini, tapi juga masa depan. Generasi Sanggau terancam kehilangan kesehatan dan lingkungan, sementara mereka yang berwenang justru sibuk menjaga diam daripada menjaga rakyat.

Kontradiksi paling mencolok terlihat dari pernyataan Kapolda Kalbar, Irjen Pol. Pipit Rismanto. Dengan tegas ia pernah menyatakan: “Apapun yang ilegal di Kalbar saya awasi. Tidak ada PETI. Semua yang melanggar pidana harus menerima konsekuensi.” Ucapan itu lantang terdengar, namun di Nanga Biang, fakta di lapangan justru menunjukkan hukum kerdil di hadapan mesin dompeng.

Pertanyaan pun makin tajam: jika janji pengawasan benar, mengapa suara mesin tambang masih meraung di Kapuas? Jika aparat bekerja serius, mengapa para penambang masih bebas menancapkan pipa dan mengeruk tanah? Bukankah sikap diam di lapangan justru mencoreng wajah institusi yang mestinya jadi benteng terakhir keadilan.

Kasus PETI di Kapuas bukan sekadar soal emas atau keuntungan ekonomi. Ini adalah ujian nyata: apakah hukum di negeri ini masih bernyawa, atau telah berubah menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan? Jika aparat tetap memilih diam, publik berhak menilai bahwa mereka bukan sekadar lalai, melainkan bagian dari permainan.

Masyarakat kini menuntut langkah nyata, bukan sekadar janji. Operasi PETI harus dihentikan, alat-alat tambang disita, aliran uang diusut tuntas, dan siapa pun yang terlibat—tak peduli pangkat atau jabatan—harus ditindak. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa di Sungai Kapuas, hukum mati bukan karena ulah penjahat, melainkan karena aparat sendiri yang membiarkannya terkubur.( RM)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *