
Manado, kpksigap.com, Kamis, 8 Mei 2025 . Pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) terkait pembiayaan ibadah haji di Sulawesi Utara (Sulut) kembali menjadi sorotan tajam. Kritik keras datang dari mantan anggota DPRD Sulut 2007, Udin Musa, yang menuding adanya potensi penyelewengan dalam alokasi dana bantuan biaya lokal bagi jamaah haji Sulut tahun 2025.
Menurut Udin, berdasarkan perhitungan resmi dari Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Sulut, kebutuhan biaya lokal per jamaah mencapai Rp7.542.000. Dengan total kuota 713 jamaah, kebutuhan dana menyentuh angka Rp5 miliar. Namun, alokasi APBD Provinsi Sulut tahun 2024 hanya sebesar Rp3 miliar. Hal ini menyisakan kekurangan sekitar Rp2 miliar, yang akhirnya dibebankan langsung ke jamaah—masing-masing tetap harus membayar Rp7,5 juta.
“Ada yang janggal. Jika Pemprov sudah menyuntik dana Rp3 miliar, maka seharusnya biaya yang dibayar jamaah berkurang. Ini justru menunjukkan indikasi korupsi atau setidaknya maladministrasi,” tegas Udin dalam keterangannya kepada wartawan.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa sejumlah setoran jamaah dilakukan ke rekening pribadi, bukan ke rekening resmi Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) atau Kemenag. Ia pun mendesak agar Polda Sulut segera turun tangan menyelidiki kasus ini demi menjaga integritas penyelenggaraan ibadah haji.
Menanggapi tuduhan tersebut, Kepala Kanwil Kemenag Sulut, Ulyas Taha, membantah keras adanya keterlibatan institusinya dalam dugaan penyimpangan. Ia menjelaskan bahwa tanggung jawab pembiayaan lokal berada sepenuhnya di bawah pemerintah daerah, bukan Kemenag.
“Bantuan dari Pemprov Sulut bukan Rp3 miliar, melainkan Rp2,6 miliar. Itu setara dengan subsidi sekitar Rp3 juta per jamaah. Sisanya memang menjadi beban jamaah atau dibantu oleh Pemkab/Pemkot melalui dana tali asih. Prosedurnya sesuai mekanisme APBD, bukan dikelola oleh kami,” ujar Taha.
Ia juga menekankan bahwa dana tidak masuk ke rekening pribadi, melainkan disalurkan secara bertahap melalui Kemenag kabupaten/kota dan PPIH daerah. Biaya lokal sendiri mencakup transportasi pesawat carter Manado–Balikpapan PP, bus antar-lokasi, konsumsi, dan akomodasi—yang seluruhnya telah dibahas bersama antara Pemprov, DPRD, Kemenag, dan perwakilan jamaah.
Namun, pernyataan tersebut belum meredam keresahan publik. Sejumlah keluarga jamaah haji di Manado mengaku masih belum memahami secara transparan ke mana dana bantuan mengalir dan mengapa biaya tetap dibayar penuh.
“Kalau Pemprov sudah bantu Rp2,6 miliar, seharusnya ada pengurangan biaya yang dibebankan ke jamaah. Ini menunjukkan ada kesalahan dalam penyaluran atau pelaporan dana,” keluh seorang warga keluarga jamaah.
Desakan Audit Independen
Merespons polemik yang berkembang, sejumlah LSM, tokoh agama, dan akademisi di Sulut menyerukan agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau auditor independen segera melakukan audit menyeluruh atas penggunaan dana haji tahun ini. Mereka juga meminta DPRD Sulut membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki dugaan ketidakberesan ini.
Payung hukum yang dapat dijadikan dasar untuk audit dan penyelidikan ini antara lain:
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, yang menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dana haji.
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mewajibkan seluruh penggunaan APBD tunduk pada prinsip akuntabilitas dan pemeriksaan oleh BPK.
UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menjamin hak publik untuk mengetahui penggunaan anggaran negara, termasuk dalam konteks keagamaan.
Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, yang mengatur alur penggunaan dan pelaporan dana APBD.
Kemenag Sulut dalam pernyataan akhirnya menyambut baik adanya pengawasan publik dan menegaskan kesiapannya untuk diaudit. “Kami terbuka terhadap proses audit. Ini bagian dari tanggung jawab publik agar masyarakat yakin bahwa pengelolaan dana haji dilakukan dengan baik dan tidak diselewengkan,” ujar Ulyas Taha.
Sementara itu, masyarakat Sulut masih menanti langkah konkret dari Pemprov dan aparat penegak hukum. Transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan ibadah haji menjadi krusial, apalagi menyangkut dana publik dan ibadah suci umat Islam.
Robby/Red
Kpksigap.



